dikutip dari buku "Disruption" oleh Rhenald Kasali, Ph.D.
Perubahan adalah suatu keharusan. Era “zero to one” sudah berakhir, dan kita bahkan berada pada era gelombang ketiga internet yang bergerak luar biasa cepat, eksponensial, dan sulit dikejar oleh mereka yang mendiamkannya.
Mereka bukan dokter. Bagaimana bisa mendisrupsi layanan kesehatan, lewat klinik yang kini tersebar di 40 titik dan sebentar lagi bisa mencapai 400 di seluruh Indonesia?
Yang kita bicarakan ini bukanlah klinik biasa. Klinik ini adalah klinik cuci darah low-end bagi masyarakat kurang mampu. Kita tahu bahwa biaya cuci darah sangat mahal, antara 800,000 – 1,200,000 rupiah setiap kali datang. Bayangkan, bagaimana berat biaya yang dikeluarkan oleh pasien gagal ginjal yang harus cuci darah minimal satu kali dalam seminggu? Itu belum termasuk ongkos perjalanan mereka yang tinggal jauh dari kota besar tempat layanan itu berada. Banyak penderita gagal ginjal yang berasal dari kalangan menengah ke bawah yang tinggal di pinggiran kota-kota besar.
Andreas Japar, alumnus ITB angkatan 1977 jurusan Teknik Fisika, adalah sosok yang memulainya. Setelah malang-melintang sebagai tenaga penjual alat kesehatan buatan Eropa, ia beralih menjadi distributor. Akal cerdiknya muncul setelah mengetahui seluk beluk bisnis alat kesehatan dan rumah sakit. Dari pekerjaannya itu, ia mengetahui mengapa ada biaya-biaya tidak efisien yang harus dikeluarkan pada pasien. Ia juga paham alat-alat medis yang layak dan kurang layak dan juga perilaku para pasien dan keluarganya.
Bersama dengan dua orang ahli IT, ia kemudian mendirikan PT Masa Cipta Husada (usaha pengelolaan alat cuci darah-hemodialisis di rumah sakit dan klinik) dan PT Masa Lestari Husada (bergerak di bidang penjualan mesin cuci darah). Proyek pertamanya dibangun di daerah Kebayoran Baru, bekerja sama dengan Yayasan Kesejahteraan Muslimat Nahdlatul Ulama. Sewaktu berkunjung ke sana pada 2016, saya melihat prasasti peresmian gedung pada 1970-an yang menyatakan bahwa dulu tempat itu adalah klinik bersalin.
Bapak Rhenald Kasali ,Bapak Andreas Japar, Bapak Agus Hendrosusanto dan tim di Klinik Cuci Darah Cipta Husada Muslimat NU 1
Sering berjalannya waktu, layanan klinik bersalin di daerah Jakarta Selatan semakin sepi peminat. Maklumlah, jumlah ibu bersalin di kawasan elite itu menurun sejak 1980-an. Memasuki abad ke-21, klinik itu semakin sepi, pemasukannya berkurang, dan bangunannya semakin jelek.
Sementara itu, data-data baru menunjukkan bahwa jumlah pasien cuci darah meningkat cukup tajam dan terutama dialami masyarakat kurang mampu. Bersama YKM-NU, Andreas dan kedua temannya itu bersepakat mendisrupsi pelayanan cuci darah. Mereka bertekad menurunkan tarif antara 50 – 70% dari yang ditawarkan rumah sakit.
Awalnya, meski sudah diturunkan harganya menjadi 550,000 rupiah untuk layanan sekali datang (dibutuhkan waktu lima jam untuk sekali cuci darah), tetap saja pelayanan mereka sepi peminat. Mengapa? Rupanya bagi pasien yang kurang mampu, tarif sebesar itu masih terbilang mahal.
Mereka pun kembali memutar otak.
Untunglah, pada era Presiden Joko Widodo, perhatian pemerintah terhadap rakyat kecil menjadi prioritas. Dahulu memang ada jamkesmas, tetapi penerapannya sangat menyulitkan rumah sakit sehingga kurang berjalan dengan baik. Selain harganya memberatkan rumah sakit, pembayarannya baru bisa cair empat bulan kemudian. Untunglah BPJS Kesehatan berhasil memperbaikinya sehingga dana sudah bisa cair dalam waktu lima belas hari. Hanya saja, BPJS Kesehatan masih mau membayar “mahal” untuk rumah sakit kelas A dan B, misalnya. Inefesiensi masih tetap dibiarkan.
Anda bisa melihat tabel Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dari PMK (Peraturan Menteri Kesehatan) No. 52/2016 untuk melihat berapa biaya yang dikeluarkan pasien gagal ginjal untuk sekali cuci darah.
Tabel PMK No. 52 Tahun 2016
Standar Tarif Pelayanan Kesehatan JKN
Kelas RS | Tarif Regional 1 | Tarif Regional 2 | Tarif Regional 3 | Tarif Regional 4 | Tarif Regional 5 |
Kelas A (P) | 982.400 | 991.200 | 994.200 | 1.008.900 | 1.041.300 |
Kelas A (S) | 1.031.500 | 1.040.800 | 1.043.900 | 1.059.900 | 1.093.400 |
Kelas B (P) | 879.100 | 887.100 | 889.700 | 902.900 | 931.900 |
Kelas B (S) | 923.100 | 931.400 | 934.200 | 948.000 | 978.500 |
Kelas C (P) | 786.200 | 793.300 | 795.700 | 807.500 | 833.400 |
Kelas C (S) | 825.500 | 833.000 | 935.500 | 847.800 | 875.100 |
Kelas D (P) | 702.600 | 708.900 | 711.000 | 721.600 | 744.800 |
Kelas D (S) | 737.700 | 744.400 | 746.600 | 757.700 | 782.000 |
RSCM | 1.118.900 | ||||
RS Jantung Harapan Kita | 1.085.600 | ||||
RS Kanker Dharmais | 1.085.600 | ||||
RSAB Harapan Kita | 1.085.600 | ||||
Ket: P = Pemerintah ; S = Swasta |
Pembagian Regional |
||||
Regional 1 | Regional 2 | Regional 3 | Regional 4 | Regional 5 |
Banten | Sumatera Barat | Aceh | Kalimantan Selatan | Nusa Tenggara Timur |
DKI Jakarta | Riau | Sumatera Utara | Kalimantan Timur | Maluku |
Jawa Barat | Sumatera Selatan | Jambi | Kalimantan Utara | Maluku Utara |
Jawa Tengah | Lampung | Bengkulu | Kalimantan Tengah | Papua |
DIY | Bali | Bangka Belitung | Papua Barat | |
Jawa Timur | Nusa Tenggara Barat | Kepulauan Riau | ||
Kalimantan Barat | ||||
Sulawesi Utara | ||||
Sulawesi Tengah | ||||
Sulawesi Tenggara | ||||
Sulawesi Barat | ||||
Sulawesi Selatan | ||||
Gorontalo |
Pada tabel itu tampak jelas bahwa tarif rawat jalan cuci darah per sekali datang untuk rumah sakit kelas A berkisar antara 982,000 – 1,031,500 rupiah. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan cuci darah di rumah sakit kelas B dan C berkisar antara 800,000 – 978,000 rupiah—tergantung di mana pasien berada.
Ini benar-benar kurang efisien. Akibatnya, berbagai rumah sakit besar yang berada di kota-kota besar memperbanyak layanan cuci darah karena sangat menguntungkan. Padahal, pasien banyak yang datang dari daerah pinggiran. Ongkos yang mereka keluarkan untuk datang berobat ke tengah kota dengan didampingi anggota keluarganya tetap akan menjadi mahal.
Andreas dan timnya pun bertekad untuk terus menurunkan biaya. Ia bahkan membuat usaha manufaktur untuk menghasilkan cairan pencuci darah.
Belakangan, Kementrerian Kesehatan pun berpaling ke India yang konon bisa membuka layanan massal berbiaya supermurah, yaitu antara 350,000 – 500,000 rupiah. Hanya saja banyak dokter yang khawatir dengan kualitas layanannya, khususnya dengan alat-alat kesehatan yang didaur ulang, atau jarum suntik dan selang yang dipakai berulang-ulang untuk pasien yang berbeda.
Sementara itu, Andreas terus mengupayakan disrupsi ini. Ia bersama dengan mitrannya pun mendirikan e-Medical Center yang akan membayar empat ratus hingga seribu klinik kecil ukuran ruko di pinggiran kota besar. Smart Hospital ini kelak akan sangat efisien.